Kampung Bajo Pantai Jodoh di Mawasangka

Gambar
Bajo yang kerapkali disebut Suku Laut tersebar diberbagai pulau Indonesia. Salah satunya di pulau tanah Buton Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Mawasangka Desa Pantai Jodoh. Di sanalah Suku Laut itu berkumpul dan hidup berkesinambungan. Nama yang unik, menjadikannya daerah istimewa di Provinsi Sulawesi Tenggara dan terkenal di seluruh tingkat nasional maupun mancanegara.  Dibalik pengangkatan nama kampung tersebut mungkin ada kisah menarik dibaliknya sehingga warga setempat menjadikannya nama perkampungan mereka di tanah Buton Sulawesi Tenggara. Walau rumah-rumah mereka sebagian besar sudah berdiri di atas bibir pantai pasir putih tetap tidak mengubah cara hidup mereka sebagai suku laut atau Suku Bajo. Mereka yang sudah hidup bertahun-tahun di Kampung Pantai Jodoh, tetap kehidupannya bergantung ke laut bukan ke darat seperti hidup sebagai petani yang bercocok tanam di kebun atau sawah.

Suku Bajo Penyelam Terlama di Dalam Air


Suku Bajo telah lama melekat sebagai orang-orang laut yang andal. Mereka hidup di hamparan perairan. Mengapung dan menyelam di sana, baik anak kecil sampai orang dewasa.

Di Indonesia, Suku Bajo bisa didapati di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya.


Orang Bajo dikenal mampu lebih tahan lama menyelam di dalam air. Mereka disebut-sebut bisa tahan sampai 13 menit di kedalaman 60 meter tanpa alat bantu nafas atau oksigen

Bila, tanpa alat bantu nafas, rata-rata manusia awam hanya bisa bertahan 30 sampai 60 detik di dalam air. Rekor terlama bertahan di dalam air tanpa alat bantu napas diraih oleh penyelam asal Denmark, Stig Severinsen, yaitu 20 menit. Itu pun diraih dengan pelatihan yang rutin dan terencana

Koordinator Kelompok Studi Maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi Supriadi Adhuri, menyebut kemampuan itu adalah hasil adaptasi dari kebiasaan Orang Bajo yang hampir 24 jam hidup di laut.


"Secara fisik mereka beradaptasi juga. Mereka dibanding dengan suku bangsa lain di Indonesia, bisa bertahan di dalam laut lebih lama," ucap Dedi. 

Saat seseorang menyelam dan menahan nafas, maka akan terjadi reaksi. Detak jantung melambat, pembuluh darah menyempit dan limpa berkontraksi. Kontraksi pada limpa itu berfungsi untuk menghemat energi saat seseorang kekurangan oksigen.

Berdasarkan jurnal penelitian Cell mendeteksi adanya mutasi DNA pada limpa di Orang Bajo.

Berdasarkan jurnal tersebut, limpa Orang Bajo kemungkinan lebih besar, sehingga kuat untuk berada di dalam air dalam jangka waktu yang lama.


Suku Bajo - yang warganya sebagian besar memeluk agama Islam, mempunyai banyak sebutan. Sebagian menyebut mereka orang laut. Orang Jawa menyebut mereka Bujuus. Orang Melayu menyebutnya Celates.


Di perairan Selat Makassar, mereka disebut Bajau atau Bajo. Sementara itu, mereka sendiri menyebut dirinya Orang Sama.


Dedi mengatakan, awalnya orang Bajo memang tinggal di perahu, mengapung di lautan. Namun, semakin ke sini Orang Bajo mulai banyak yang tinggal di daratan.


Bicara mengenai Orang Bajo adalah bicara tentang pengembara lautan. Meski, asal usulnya belum diketahui secara pasti.


Tak hanya di Sulawesi, Indonesia, Suku Bajo juga ada yang ditemukan bermukim di perairan Sabah, Malaysia, dan Tawi-Tawi serta Mindanao, Filipina.


Ada yang menyebut orang Bajo berasal dari Filipina dan ada juga yang menyebut dari Malaysia. Namun, sejak berabad-abad mereka hidup di lautan secara nomaden.


Sejarawan dari UIN Raden Intan Lampung, Rahman Hamid, banyak mempublikasikan penelitiannya mengenai sejarah maritim, salah satunya membahas pengembaraan orang Bajo.


Secara umum, Rahman mengatakan banyak yang menganggap asal usul Orang Bajo yaitu dari Semenanjung Malaka, lalu berimigrasi ke berbagai penjuru Nusantara. Namun, ada juga yang mengatakan orang Bajo berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar ke wilayah lainnya.


Ia mengakui rekam jejak orang Bajo memang belum bisa dideteksi secara pasti. Namun, bisa ditelusuri melalui hubungannya dengan beberapa kerajaan di Nusantara seperti Kerajaan Malaka, Luwu Siang, Makassar dan Bone.


Pada waktu itu atau masa kerajaan Malaka, abad ke-15. Puluhan Orang-orang Bajo mengiringi Raja Parameswari ketika pindah dari Tumasik (Singapura) ke Muar. Saat itu, Orang Bajo menemukan tempat di Sungai Bertam. Sungai itu kemudian menjadi Malaka.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Bajo Menambah Daya Tarik Wisatawan Mancanegara

Lepa adalah Kediaman Leluhur Orang Bajo

Pesona Indah di Kampung Bajo Mantigola