Kampung Bajo Pantai Jodoh di Mawasangka

Gambar
Bajo yang kerapkali disebut Suku Laut tersebar diberbagai pulau Indonesia. Salah satunya di pulau tanah Buton Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Mawasangka Desa Pantai Jodoh. Di sanalah Suku Laut itu berkumpul dan hidup berkesinambungan. Nama yang unik, menjadikannya daerah istimewa di Provinsi Sulawesi Tenggara dan terkenal di seluruh tingkat nasional maupun mancanegara.  Dibalik pengangkatan nama kampung tersebut mungkin ada kisah menarik dibaliknya sehingga warga setempat menjadikannya nama perkampungan mereka di tanah Buton Sulawesi Tenggara. Walau rumah-rumah mereka sebagian besar sudah berdiri di atas bibir pantai pasir putih tetap tidak mengubah cara hidup mereka sebagai suku laut atau Suku Bajo. Mereka yang sudah hidup bertahun-tahun di Kampung Pantai Jodoh, tetap kehidupannya bergantung ke laut bukan ke darat seperti hidup sebagai petani yang bercocok tanam di kebun atau sawah.

Siklus Manusia Suku Bajo di Indonesia

Suku Bajo merupakan salah satu suku yang tersebar di Indonesia dan menempati pulau-pulau di seluruh tanah air. Suku Bajo adalah salah satu suku bangsa yang menggantungkan hidupnya di laut dan tersebar tidak hanya di 
wilayah Indonesia tapi juga di Australia, 
Malaysia, dan Filipina. Di Indonesia suku Bajo tersebar di sekitar pantai timur Sumatera, yang hidup secara nomaden, di pinggir pantai sekitar pantai Riau hingga ke Tanjung Jabung dekat Jambi ke Kabupaten Indragiri Hilir. 

Oleh masyarakat lain, mereka sering disebut “orang laut” (Sembiring, 1993). Selain suku ini dapat dijumpai di muara pantai dan daerah lepas pantai utara dan Timur Kalimantan, 
Kepulauan Maluku, pantai utara Sumbawa, 
pantai barat dan utara Flores, Pulau Babi, 
Kepulauan Alor. 

Di Pulau Sulawesi, Suku Bajo tersebar di beberapa tempat, di Sulawesi Selatan, Tengah, Utara, Tenggara, misalnya di Kabupaten Wakatobi, ada Desa Bajo Mantigola, Sampela dan Lohoa yang menempel di pesisir pantai Kecamatan Kaledupa. 

Persebaran etnis Bajo di tempat lain seperti Propinsi Gorontalo sendiri tersebar di pesisir pantai teluk Tomini yakni di Kabupaten Boalemo
dan di Kabupaten Pohuwato. 
Suku Bajo di Mantigola di Kabupaten Wakatobi seperti kebanyakan Suku Bajo lainnya awalnya hanya merupakan kumpulan soppe-soppe (perahu besar tempat orang bajo tinggal). 

Mereka berpindah-pindah tempat di 
berbagai teluk, kelompok lima sampai 
sepuluh sopped dan singgah dari pulau ke pulau.

Dalam cerita singkat Suku Bajo yang berada di tempat lain seperti di desa Torosiaje; pada saat itu seorang Haji hidup di pulau tempat sekarang terdapat desa Torosiaje. Awalnya orang Bajo hanya singgah untuk menjual ikan dan kulit penyu. Mereka menyebut tempat itu sebagai Toroh (tanjung) si haji. Tahun 1926, Torosiaje kemudian dijadikan sebagai perkampungan walaupun saat itu orang Bajo masih tinggal di atas perahu. kemudian mulai membangun rumah di atas laut dengan menggunakan tiang kayu. 

Sekitar tahun 1980-an pemerintah pusat melaui 
program yang dilaksanakan oleh Kementerian 
Sosial kemudian berusaha memindahkan 
Orang Bajo ke darat. Pemindahan suku Bajo 
dari laut ke darat di Torosieja merupakan 
inisiasi dari pemerintah pusat. Awalnya ada 
sekitar 125 KK yang dipindahkan ke darat 
(saat ini sudah menjadi Desa Bumi Bahari). 
Dari 125 KK tersebut, sebagian besar 
kemudian memilih untuk kembali ke laut 
dengan alasan ketersediaan air bersih dan 
jarak yang jauh dari laut. Hanya tersisa sekitar 
35 KK yang masih bertahan di daratan 
(Wawancara Umar Pasande). 


Pemindahan masyarakat melalui 
Sistem Pemukiman Sosial (SPS) disertai 
dengan jaminan hidup selama tiga tahun. 
Walaupun sudah deberikan jaminan hidup dan 
lahan pertanian, banyak Orang Bajo yang 
tetap memilih kembali ke laut. 

Awal tahun 1990, pemerintah kembali melakukan intervensi untuk memindahkan orang Bajo ke darat. Pada proses yang ke dua ini banyak yang kemudian menetap di darat namun tetap memilih lokasi dekat dengan pantai.
Seiring berjalannya waktu, keterbatasan lokasi untuk membangun rumah di atas laut, mengakibatkan orang Bajo mulai melakan migrasi ke darat. 

Selain keterbatasan lahan, mulai langka-nya kayu sebagai bahan pembuat rumah menjadi alasan mereka untuk tinggal di darat. Saat ini, Torosiaje Serumpun sudah dimekarkan menjadi tiga desa yakni Desa Torosiaje (perkampungan di atas laut), Torosiaje Jaya (diwilayah pesisir) dan Bumi Bahari, berjarak kurang lebih 2 KM dari pesisir dan lebih dekat dengan pasar. 



Walaupun sudah dipisahkan secara administrasi, penduduk dari tiga desa 
mengidentifikasikan diri mereka sebagai 
orang Bajo Torosiaje Serumpun. 

Masyarakat Suku Bajo yang dahulunya 
tinggal di atas laut, sekarang ini sudah terpisah. Keberadaan masyarakat Bajo di Torosiaje Serumpun yang terpisah secara ekologi tentu akan memberikan dampak pada aspek kehidupan baik itu secara sosial maupun kebudayaan. Space, dan ekologi yang berbeda antara Bajo Laut dan Darat tentu saja 
berdampak pada adanya perubahan yang 
terjadi pada masyarakat. Perbedaan space, 
ekologi yang berbeda ini membuat penelitian 
terhadap perubahan sosial yang terjadi pada 
masyarakat Bajo di Torosiaje Serumpun 
menjadi penting.



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Bajo Menambah Daya Tarik Wisatawan Mancanegara

Lepa adalah Kediaman Leluhur Orang Bajo

Pesona Indah di Kampung Bajo Mantigola